top of page

Thailand Mencatat Munculnya Dua Wabah Zoonosis



Dalam sebulan terakhir, Thailand mencatat munculnya dua wabah penyakit zoonosis yang telah menewaskan ribuan hewan ternak. Keduanya, penyakit ‘lumpy skin disease dan Sindrom Reproduksi dan Respirasi Babi (PRRS) telah menginfeksi sekitar 7.200 sapi dan membunuh lebih dari 200 babi sampai dengan tengah tahun tahun ini.


Wabah penyakit ‘lumpy skin disease pada sapi dan kerbau pertama kali dilaporkan di Thailand pada Maret tahun ini. Penyakit ini diyakini pertama kali ditemukan di Thailand. Selain menyebabkan kulit berbenjol-benjol seperti namanya, virus ini menyebabkan demam, penurunan kesuburan, dan penurunan nafsu makan pada hewan tersebut.




Virus zoonosis lain juga telah menyebabkan penderitaan bagi hewan ternak. PRRS, penyakit virus pada babi, menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi dan pernapasan, pertama kali dilaporkan di peternakan babi di provinsi Lampoon pada September tahun lalu. Berita terbaru tentang virus ini menunjukkan bahwa ia menyerang provinsi Kalasin bulan lalu di mana tiga puluh delapan anak babi berusia 2 bulan harus dibunuh di peternakannya dan dibuang. Karena tidak ada pengobatan khusus untuk PRRS, seringkali babi dibunuh meskipun tidak ada gejala untuk memastikan bahwa virus tidak menyebar ke peternakan lain. Sejauh ini, tidak ada kasus sebaran lain yang terdaftar dari kedua penyakit tersebut ke manusia.



Apa artinya bagi kemanusiaan?



Meskipun Dinas Peternakan Thailand telah memesan vaksin untuk penyakit lumpy skin diseases dan mengumumkan telah menghentikan wabah penyakit tersebut, munculnya kedua penyakit zoonosis ini mengingatkan kita bahwa, sejak sebelum Covid-19, para ilmuwan dan spesialis di seluruh dunia telah memperingatkan bahwa penyakit baru yang kritis, sangat bisa muncul dari industri peternakan. Dalam beberapa kasus, hal tersebut bisa mewakili "tempat berkembang biak yang sempurna" untuk pandemi baru.


Tiga dari empat penyakit menular baru atau yang muncul pada manusia berasal dari hewan, yang berarti mereka mulai menyebar di antara hewan terlebih dahulu, sebelum menyebar ke manusia. Salah satu contoh yang paling mengejutkan adalah merebaknya virus Nipah di Malaysia pada tahun 1998. Virus Nipah menyebar dari kelelawar liar ke babi ternak di bagian utara Semenanjung Malaysia. Ketika akhirnya menyebar ke manusia, tingkat kematiannya secara signifikan lebih tinggi (40-70 %) daripada babi.


Bukan hanya itu, daftarnya terus berlanjut. Beberapa contoh yang lain adalah Flu Babi dan Burung, penyakit Sapi Gila, Ebola, dan bahkan HIV/AIDS, yang ditelusuri kembali dalam sejarahnya pada perburuan simpanse beberapa dekade lalu. Dengan ekspansi global industri peternakan ke habitat satwa liar dan padatnya hewan di ruang yang terus menerus lebih kecil dan tidak bersih, wabah penyakit menular baru dalam skala pandemi sangat mungkin terjadi.

Jalan alternatif menuju masa depan


Semakin manusia bergantung pada hewan untuk menghasilkan makanan, semakin berisiko masa depannya. Program Lingkungan PBB (UNEP) telah memperingatkan bahwa faktor-faktor seperti intensifikasi pertanian, meningkatnya permintaan untuk protein hewani, deforestasi, dan perubahan iklim dapat menyebabkan munculnya pandemi baru.


Namun, ada beberapa alternatif yang tersedia. Jika kita ingin mengurangi risiko pandemi berikutnya, kita perlu membangun sistem pangan yang lebih berkelanjutan, yang tidak terlalu bergantung pada hewan. Dan seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, mencegah pandemi baru dengan mengubah sistem pangan kita bisa seratus kali lebih murah daripada menanggapinya, seperti yang telah kita lakukan dengan Covid-19.


Pada tingkat individu, kita dapat mengurangi atau menghilangkan konsumsi produk hewani. Jika kamu ingin mulai menerapkan pola makan nabati namun tidak tahu caranya, coba daftar untuk mengikuti tantangan 21 hari vegan kami! Selain itu, untuk berkontribusi kamu juga dapat meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam menciptakan sistem pangan yang lebih baik dan lebih tangguh untuk masa depan kita.


bottom of page